Pertemuan salah seorang penulis makalah ini dengan seorang supir taksi Citra yang berasal dari kawasan pantai utara Indramayu mengingatkan k...
Pertemuan salah seorang penulis makalah ini dengan seorang supir taksi Citra yang berasal dari kawasan pantai utara Indramayu mengingatkan kembali pada masa kecil. Kegembiraan pada saat itu adalah jika ada pesta sunatan atau pesta penikahanan atau perayaan kemerdekaan RI. Bukan pestanya yang diincar, melainkan hiburan tarling yang sangat popular dan cukup disegani pada saat itu. Pemahaman penulis tentang tarling sebetulnya tidak begitu mumpuni karena hanya sebatas pengalaman masa kecil yang nonsense dan dibumbui dengan pelbagai mitos.
Dalam dialog dengan supir taksi tersebut, penulis memahami bahwa tarling sebagai sebuah hiburan masyarakat pantai utara sudah tidak populer lagi karena pelbagai hal. Di samping harga sewa yang sangat mahal, maraknya organ tunggal yang bisa menggantikan hampir semua alat instrumen musik juga ikut menggusur keberadaan tarling. Atas dasar alasan itulah, sang supir meninggalkan profesi kesenimanannya beralih menelusuri kota Jakarta di belakang stir taksi. Bermain semalam suntuk untuk tarling pada saat ini hanya sebagai kenangan saja bagi bapak supir tadi, bukan dijadikan sebagai pekerjaan yang menjanjikan. Sambil menyetir, keluarlah lagu-lagu tarling dari mulutnya. Dia sangat terharu ketika penulis mengapresiasinya karena lirik lagu yang disampaikan penuh dengan moral etik. Tarling yang dimaksud di sini bisa jadi adalah tarling klasik.
Almarhumah ibu penulis lahir dan dibesarkan di Indramayu dari lingkungan keluarga seniman. Namun, beliau tidak dibesarkan dalam lingkungan tarling, tetapi Grup Orkes Melayu yang dinilai lebih elitis ketimbang tarling dari segi aransemen musik dan lagu, juga bahasa yang digunakan dalam lirik lagu. Orkes Melayu biasa ditampilkan dalam acara-acara yang diselenggarakan kelas menengah ke atas. Tarling dianggap sebagai musik rakyat yang tumbuh dari budaya pesisir yang identik dengan keterbukaan, kurang berpendidikan, dan elitis. Itu yang penulis tangkap dari budaya tempat penulis tumbuh dan dibesarkan. Padahal, kesenian pesisir begitu adanya. Ia mempunyai ciri khas yang dinamis, unik, dan sebagian besar belum tergali secara estetis.
379 Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling (Jika banyak berdosa segeralah bertaubat). Menurut Supali Kasim (2003), dalam bukunya Tarling Migrasi Bunyi dari Gamelan Ke Gitar-Suling, tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada seorang komisaris Belanda yang meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan. Usai diperbaiki, sang komisaris Belanda itu ternyata tidak kunjung mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan.
Hal itupun dilakukan oleh Sugra, anak Mang Sakim. Bahkan Sugra membuat eksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Karenanya, tembang-tembang (kiser) Dermayonan dan Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi lebih indah dengan iringan petikan gitar. Keindahan itupun semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu.
Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar tahun 1930-an. Pada saat itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta perkawinan atau sunatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu pompa Petromak. Tidak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Dari situ, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat Balen (Kawin Cerai), dan Lair Batin yang begitu melegenda hingga saat ini. Lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.
Pada saat itu, nama tarling belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Sebutan yang digunakan untuk jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya. Setelah Sugra, sederet nama muncul yang melambungkan tarling hingga ke berbagai pelosok daerah, di antaranya adalah Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah Kamsiyah, Dariyah, dan Dadang Darniyah di Kabupaten Indramayu. Tahun 1950-an, di Kabupaten Cirebon muncul tokoh tarling bernama Uci Sanusi. Kemudian pada tahun 1960-an muncul lagi tokoh-tokoh yang melambungkan jenis musik ini, yakni Abdul Adjib, dari Desa Buyut, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, dan Sunarto Martaatmadja, dari Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, serta Lulut Casmaya dari Kabupaten Majalengka.
380 Di antara seniman tarling ini mempunyai latar belakang musik yang berbeda- beda. Jayana banyak dipengaruhi oleh musik gamelan. Uci Sanusi sebelumnya adalah seniman keroncong dan teater. Abdul Adjib banyak dipengaruhi oleh orangtuanya yang mempunyai grup sandiwara. Sunarto (kemudian lebih akrab dipanggil Kang Ato), Pepen Effendi dan Maman S. mengkombinasikannya dengan musik dangdut. Tarling diakui sebagai jenis kesenian yang mengakar pada rakyat dan mengalir seperti air dalam kehidupan masyakatnya. Oleh sebab itu, tarling berkembang mengiringi perubahan zaman. Lirik lagu dalam tarling selalu menceritakan kisah kehidupan sehari-hari yang sarat pesan moral, menggambarkan kehidupan masyarakat di pesisir pantura Jawa Barat. Tema utama dalam lirik-lirik lagu tarling adalah nasihat, pegat-balen (kawin cerai), wayuan (poligami), demenan (cinta), masalah rumah tangga, pemujaan pada laki-laki, penderitaan perempuan, ketidakberdayaan perempuan, dan kebiasaan laki-laki pada masyarakat Kabupaten Indramayu (mabuk, maen, madon— minuman keras, judi, main perempuan).
Di awal perkembanganya lirik lagu tarling lebih mengadopsi dari kiser Dermayonan dan Cerbonan yaitu sastra lisan berupa pantun. Seperti karya Jayana dalam kiser manunggal-nya yang masih dapat dinikmati sampai sekarang. Seniman asal Kabupaten Indramayu ini, diakui memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memainkan gitar dan yang paling dielu-elukan masyarakat Indramayu dan sekitarnya adalah suaranya yang merdu, tinggi, dan mempunyai ciri khas nada pesisiran. Lirik lagu tarling yang berisi nasihat banyak dipopulerkan oleh Dariyah dalam lagunya Manuk Dara Sepasang (Sepasang Burung Merpati), Gambaran Urip (Gambaran Hidup), Pedet Nuntun Sapi (Pedet Menuntun Sapi), dan Pikir-pikir Dingin (Pikir-pikir Dahulu). Drama tarling berjudul “Baridin” yang dipopulerkan Abdul Adjib yang mengisahkan kisah cinta yang berakhir dengan kesedihan yang sangat tragis karena jurang status sosial antara si kaya dan si miskin. Drama ini sarat dengan pesan moral dengan mengajarkan bagaimana kita sebaiknya memposisikan makna cinta yang sesungguhnya tanpa paksaan dan penghinaan, namun penghargaan sesama manusia.
Dalam perjalanan selanjutnya, musik tarling terkontaminasi musik dangdut. Seniman tarling seperti Kang Ato, Maman, dan Pepen mengawinkan musik tarling dengan dangdut, yang kemudian memunculkan istilah tarling dangdut popular (modern). Yoyo Suwaryo (1955-2002), pada saat masih bergabung dengan kelompok tarling Cahaya Muda pimpinan Dariyah, mulai meramaikan jagat panggung tarling dangdut, yang kemudian merajai dunia tarling ketika mendirikan Tarling Dharma Muda yang dipimpinnya sendiri. Yoyo Suwaryo dikenal sebagai seniman yang sangat paling produktif menciptakan dan membawakan lagu-lagu tarling. Konon, dalam satu tahun Tarling Dharma Muda bisa mendapat undangan manggung lebih dari 200. Kendati ia bukan yang pertama mengenalkan tarling dangdut, semua lagu-lagunya banyak menjadi inspirasi bagi seniman seangkatan dan sesudahnya. Selepas kepergiannya, tarling dangdut menjelma menjadi music tarling organ tunggal sampai sekarang. Seniman seperti Ipang Supendi, Aas Rolani, Dewi Kirana, Nunung Alvi, Wadi Oon, Eddy Zacky, Wulan, Rendy Raundi, Dedi Yohana, menjadi penyanyi tarling organ tunggal yang dikenal di sepanjang pantura Jawa Barat.
Walaupun seni tarling klasik pada saat ini telah hampir punah, namun tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura. Tarling adalah jiwa masyarakat pesisir Indramayu. Dengan ikut sawer ke atas panggung atau 381 sekedar melihat, serta mendengar musik tarling modern, seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya dianggap mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur. Citra budaya pesisir seperti tarling dangdut Indramayu cenderung erotis di mata masyarakat, padahal hal itu tidak sepenuhnya benar. Memang terjadi pergeseran budaya pada sejumlah kesenian pesisir, tetapi ini bukan berarti menjadikan budaya pesisir bernilai rendah hanya karena kesan erotismenya. Dengan makin derasnya arus modernisasi yang menghantam kebudayaan tradisional di pesisir (pantura) Jawa Barat yang menyebabkan sejumlah budaya justru kehilangan ruhnya. Dahulu ada budaya jaringan di Indramayu yaitu saat bulan purnama orang-orang berkumpul untuk membetulkan jaring bersama-sama, tetapi budaya itu sekarang justru berkembang menjadi acara kumpul-kumpul untuk cari jodoh. Budaya "Tarling" klasik yang menampilkan tarian khas pesisir dan pesan moral, pada perkembangannya lebih kental aroma dangdutnya.
Memaknai budaya hidup masyarakat Indramayu melalui seni tarling dangdut dengan segenap komponen yang menghidupkannya untuk memaknai budaya hidup manusia itu telah menjawab pertanyaan mengenai apa yang bisa dilakukan atau kita ciptakan dengan seluruh tradisi serta kebudayaan yang membentuk kita? Kesenian Tarling-Dangdut Indramayuan tampil sesuai situasi nyata yang ada di Indramayu sebagai sebuah kesenian tradisional-modern. Representasi ruang ketiga sebagai wajah Indramayu yang hidup pada ruang "antara" tradisional dan modern. Kesenian ini pula menampilkan wajah Indramayu yang bergerak diantara kebudayaan agraris dan industri. Petani memiliki budaya tradisional sekaligus industrial. Lagu-lagu tarling dangdut Indramayuan mengangkat realitas kehidupan sosial masyarakat Indramayu